Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan usaha yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Apotek menjalankan usahanya dengan menyediakan dan menyalurkan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP kepada masyarakat. Oleh sebab itu, Apotek juga diakui oleh negara sebagai suatu jenis usaha yang menguntungkan, sehingga layak untuk mempunyai kewajiban pembayaran pajak apotek.
(Baca juga : Tiga Laporan Keuangan yang Harus Dibuat di Apotek)
Bentuk Usaha yang Mempengaruhi Pajak Apotek
Berdasarkan pelaku usaha dan bentuk usahanya sesuai dengan Permenkes Nomor 14 Tahun 2021, apotek bisa berbentuk usaha perseorangan dan non-perseorangan. Hal ini akan mempengaruhi ketentuan pajak yaitu sebagai berikut.
Pajak Apotek Bentuk Usaha Perseorangan
Usaha Perseorangan adalah Apoteker yang bertindak sebagai Pemilik Sarana Apotek (PSA) sekaligus Apoteker Penanggungjawab Apotek (APA). Apotek ini dikelompokkan sebagai usaha kecil milik perorangan sehingga kewajiban pajaknya akan berbeda dengan apotek berbentuk badan usaha PT. Pelaporan pajak menggunakan form SPT 1770 yang biasa digunakan oleh wajib pajak orang pribadi. Objek pajaknya adalah penghasilan yang diperoleh apotek.
Berdasarkan UU PPh, wajib pajak orang pribadi UMKM tidak dikenakan pajak hingga batasan omzet Rp500 juta setahun. Namun jika sudah melebihi Rp 500 juta sesuai dengan PP Nomor 23 Tahun 2013, Apoteker yang memiliki penghasilan kotor (omzet) kurang dari atau sama dengan Rp 4,8 miliar setahun atau belum berstatus PKP, maka akan dikenakan PPh (pajak penghasilan) sebesar 0,5% dari total omzet setahun.
Pajak Apotek Bentuk Non-Perseorangan (PT)
Jika Pemilik Sarana Apotek (PSA) bukanlah sebagai Apoteker Penanggungjawab Apotek (APA) maka apotek harus berbentuk badan usaha berupa Perseroan Terbatas (PT), Yayasan, dan/atau Koperasi. Kewajiban untuk apotek bentuk non-perseorangan seperti berbentuk PT akan dikenakan wajib pajak perusahaan pada umumnya yaitu menggunakan form SPT 1771. Untuk perhitungan pajaknya adalah sebagai berikut :
- Jika apotek memiliki omzet (penghasilan kotor) kurang dari atau sama dengan Rp 4,8 miliar setahun, maka dikenakan tarif PPh final UMKM 0,5% dari total omzet setahun
- Jika apotek memiliki omzet (penghasilan kotor) di atas Rp 4,8 miliar setahun, maka dikenakan tarif PPh umum yaitu laba fiskal x tarif pasal 17 UU PPh
(Baca juga : Struktur Organisasi Apotek dan Pembagian Peran SDM)
Jenis Status Pajak Apotek Berdasarkan Omzet
Apotek dalam hal ini termasuk pedagang produk farmasi secara eceran (retail farmasi) sehingga objek pajaknya adalah penghasilan. Berdasarkan UU PPh, ada dua jenis status apotek yang dilihat dari omzet apotek yaitu :
Apotek Berstatus Non-PKP
Apotek yang berstatus Non-PKP berlaku untuk apotek yang termasuk kategori UMKM (mikro, kecil, menengah) yaitu yang memiliki penghasilan kotor atau omzet kurang dari Rp 4,8 miliar per tahun. Untuk kategori ini terkena pajak 0,5% dari total omzet yang dinilai dari laporan keuangan (sesuai dengan PP Nomor 23 Tahun 2018).
Status Non-PKP juga berlaku jika apotek memilih untuk melakukan pembukuan atau memilih/ mendaftarkan usahanya menjadi PKP, maka ketentuannya sesuai dengan apotek yang berstatus PKP.
Apotek Berstatus PKP (Pengusaha Kena Pajak)
Apotek yang berstatus sebagai PKP (pengusaha kena pajak) berlaku jika penghasilan bruto atau omzet diatas Rp 4,8 miliar per tahun, maka wajib melaporkan usahanya untuk menjadi PKP (pengusaha kena pajak). Selain itu, juga berlaku bagi apotek UMKM yang memilih melakukan pembukuan atau berstatus PKP. Maka akan dikenai PPh (yang dihitung sesuai tarif pasal 17 UU PPh) dan PPN (pajak pertambahan nilai). Apotek wajib melakukan pembukuan berisi laporan laba-rugi apotek dan neraca keuangan yang tercatat teratur.
(Baca juga : Cara Membuat Laporan Laba Rugi di Apotek)
Jenis Pajak yang Dikenakan ke Apotek
Ada beberapa jenis pajak yang dikenakan kepada usaha apotek, yaitu sebagai berikut :
Pajak Penghasilan bagi Apotek (PPh)
PPh atau pajak penghasilan adalah pajak yang dibebankan kepada orang pribadi atau badan usaha sehubungan dengan penghasilan atau keuntungan yang diperolehnya dari usaha apotek. Pembayaran pajak dapat dilakukan sebulan sekali. Pajak ini wajib dilaporkan melalui SPT tahunan di akun DJP online.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Bagi Apotek yang memiliki penghasilan kotor diatas Rp 4,8 miliar per tahun atau berstatus PKP, maka wajib melakukan pemungutan PPN kepada rekanan atau pembeli obat. PPN adalah jenis pajak yang dilaporkan dan disetor setiap adanya penjualan atau pembelian produk/jasa dari apotek. Pajak ini dilaporkan sebulan sekali ke laman DJP online. Tarif PPN yang berlaku per 1 April 2023 adalah 11% dari nilai penyerahan produk/jasa kena pajak.
(Baca juga : Empat Tanda Keuangan Apotek Sedang Tidak Sehat)
Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk Karyawan Apotek (PPh 21)
PPh 21 adalah pajak yang dikenakan kepada karyawan di apotek berhubungan dengan gajinya. Potongan PPh 21 dilakukan perbulan dan dilaporkan pertahun oleh apotek. Pemotongan PPh 21 dari gaji karyawan diatur sesuai dengan ketentuan UU KUP. Hanya karyawan yang gajinya melebihi PTKP (penghasilan tidak kena pajak) yang akan dipotong.
Tips Membuat Laporan Pajak Apotek
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, pajak merupakan salah satu kewajiban bagi apotek, baik berbentuk usaha perseorangan maupun badan usaha. Oleh karena itu, perpajakan apotek merupakan satu hal yang diperhatikan oleh pebisnis apotek. Berikut beberapa tips dalam membuat laporan pajak apotek.
Memisahkan keuangan apotek dengan pribadi
Hal pertama yang perlu dilakukan adalah memisahkan keuangan pribadi dengan bisnis apotek. Bisnis apotek perlu dibuatkan kanal atau rekening bisnis tersendiri agar keuangan tidak bercampur. Walaupun usaha milik sendiri, jika owner/pebisnis mengambil uang atau barang dari apotek maka harus tercatat.
Rutin melakukan pencatatan dan membuat laporan keuangan apotek
Dalam melakukan perhitungan kewajiban pajak, Apoteker pemilik apotek tentu membutuhkan laporan keuangan sebagai dasar perhitungan, diantaranya Laporan Laba Rugi (untuk mengetahui penghasilan kotor/omzet dan penghasilan bersih) dan Laporan Neraca Keuangan. Sebagai contoh, jika apotek termasuk usaha Non-PKP, maka perhitungan 0,5% dari penghasilan kotor dapat dihitung dari nilai omzet atau penghasilan kotor di laporan laba rugi.
Menggunakan software Apotek Digital
Penggunaan software Apotek Digital dapat membantu Anda dalam mengelola apotek, salah satunya untuk memudahkan dalam perhitungan dan pelaporan pajak apotek. Dengan menggunakan software apotek laporan keuangan akan dibuatkan secara otomatis dan akurat berdasarkan semua transaksi yang diinput, diantaranya laporan laba rugi dan neraca keuangan apotek. Selain itu, untuk apotek yang sudah berstatus PKP (pengusaha kena pajak), Apotek Digital sudah dilengkapi fitur perhitungan pajak.
Apotek bisa mengenakan pajak kepada pelanggan ketika melakukan penjualan di menu Kasir. Selain itu, untuk apotek PKP ketika input faktur pembelian, maka PPN tidak dimasukkan ke harga pokok. Perhitungan pajak akan ditampilkan di Laporan Keuangan Neraca Keuangan dan Akuntansi Buku Besar. Ingin kelola apotek lebih mudah? Coba gratis sekarang.
Referensi
perpajakan ID. 4 April 2023. Panduan Pajak Profesi Apoteker [online]
hukumonline.com. 4 Mei 2021. Ketentuan PPh Pasal 21, Pasal 25, dan Pasal 29 [online]